Kisah Imam Ahmad Disiksa al Mu’thasim (TAHAN AIR MATAMU-2)



Hahaha…memang benar apa katamu, kawan. Membaca biografi ulama’ membuat kita ingin menertawakan diri sendiri. Yang sebelumnya kita ‘sok merasa sudah berbuat banyak untuk Islam ternyata belum seberapa dibandingkan mereka. Yang sebelumnya tanpa sadar ‘sok merasa paling berat ujiannya nyatanya hanya bagaikan riyak-riyak kecil di lautan jika dibandingkan mereka. Allahul Musta’an.


Adapun pertanyaanmu, bukankah pusat pemerintahan kaum muslimin di Baghdad dan Imam Ahmad tinggal di Baghdad? Kenapa dibawa keluar Baghdad? Dimana istana al-Ma’mun?

➡ Begini, kawan. Memang pusat pemerintahan kaum muslimin di Baghdad. Hanya saja al-Ma’mun gemar berperang melawan kaum kuffar. Bahkan Allah menganugrahinya kepiawaian dalam tehnik, siasat, orator dan komando peperangan. Lihat saja kesombongannya, “Mu’awiyah bin Abi Sufyan butuh ‘Amr bin al-‘Ash menjadi panglimanya. ‘Abdul Malik bin Marwan butuh Hajjaj bin Yusuf menjadi panglimanya. Sedangkan aku, aku hanya butuh diriku sendiri.”

Sehingga dia lebih memilih membangun istana baru di tapal batas daerah kaum muslimin di Tarsus dan menyerahkan kepengurusan di Baghdad kepada Ishaq bin Ibrahim.

Sepeninggal al-Ma’mun, khilafah diserahkan kepada al-Mu’tashim. Namun, sungguh kasihan al-Mu’tashim. Dia mengambil penasihat seorang ahli bid’ah bernama Ibnu Abi Duad. Berapa banyak pemimpin yang binasa saat dia mengambil penasihat dari kalangan ahli bid’ah. Dia merusak agama dan dunianya.

Dengan saran Ibnu Abi Duad, al-Mu’tashim memerintahkan Ahmad dibawa kembali ke Baghdad. Tibalah Ahmad di istana al-Mu’tashim.

Oh iya, kawan! Sebelum itu, dalam perjalanan pulang ke Baghdad, perjuangan Ahmad semakin terjal. Dia harus berjuang sendirian. Kawannya dipanggil Allah tabaraka wa ta’ala berpulang. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Kabar baiknya tak se-centi-pun Ahmad mundur dari kancah perjuangan. Bahkan Ahmad semakin merasa harus habis-habisan membela agama. Dia ingin menebus jasa kawannya yang senantiasa memberinya spirit istiqamah. Ba’dallah tentunya. Ahmad tidak ingin mengecewakan kawannya. Segera dia usap air mata dari wajahnya, mengkafani, menyolati, dan menguburkannya. Rahimahullahu Muhammad bin Nuh.

Mengenai kawannya ini, Muhammad bin Nuh, Ahmad berkata, “Tidak pernah aku temui orang yang walaupun masih muda belia namun sangat istiqamah dalam agama kecuali Muhammad bin Nuh.”

Tibalah Ahmad di istana al-Mu’tashim. Ahmad melihat al-Mu’tashim dikelilingi para penasihatnya. Benar, kawan, semuanya dari kalangan ahli bid’ah.

“Mendekatlah,” kata al-Mu’tashim.

“Sebenarnya aku tak ingin mengusikmu andaikan kau bukan tahanan khalifah sebelumku.

Sudahlah, Ahmad. Buat apa kau keras kepala dengan keyakinanmu itu. Mudah saja urusannya. Kau hanya cukup mengucapkan beberapa kalimat yang ku pinta. Selesai. Lalu aku sendiri yang akan melepaskan belenggu darimu. Aku juga akan sering berkunjung ke rumahmu dengan pasukanku, sebagai rasa hormatku padamu,” lanjut al-Mu’tashim merayu.

Dengan tenang Ahmad menjawab, “Aku pun hanya minta satu dalil saja, Amirul Mukminin. Terserah dari al-Qur’an atau hadits. Sehingga aku penuh keyakinan mengucapkannya.”

“Jawab permintaannya,” seru al-Mu’tashim kepada para penasihatnya.

Para ulama’ gadungan itu pun memelintir dalil seenaknya, berdusta atas nama al-Qur’an dan Sunah. Karena memang Ahmad ulama’ sejati, mudah saja baginya meluruskan semua dalil yang mereka putar-balikkan maknanya. Hingga mereka semua terbungkam, tak berani berdalil lagi.

Tahu teman-temannya terbungkam, Ibnu Abi Duad segera berkata kepada al-Mu’tashim, “Amirul Mukminin, Wallahi dia ini sesat menyesatkan. Jangan sampai kau tertipu. Mereka inilah para penasihatmu yang terbimbing. Soal agama, serahkan kepada mereka.”

⚠ Kawan, satu pesanku, hati-hatilah memilih teman❗Karena bisa jadi hati nuranimu baik, namun temanmu menggiringmu terlampau jauh dari kebaikan. Al-Mu’tashim sejatinya menyimpan kekaguman kepada Ahmad. Dalam pertemuan tersebut al-Mu’tashim bergumam tentang Ahmad, “Demi Allah, dia itu Ulama. Demi Allah, dia itu ahli fikih. Aku ingin orang sepertinya duduk di sampingku mendebat orang-orang kafir.”

Lalu, al-Mu’tashim menoleh kepada Ahmad dan mengulangi rayuannya, “Sudahlah, Ahmad. Buat apa kau keras kepala dengan keyakinanmu itu. Mudah saja urusannya. Kau hanya cukup mengucapkan beberapa kalimat yang ku pinta. Selesai. Lalu aku sendiri yang akan melepaskan belenggu darimu. Aku juga akan sering berkunjung ke rumahmu dengan pasukanku, sebagai rasa hormatku padamu.”

Namun kali ini dengan sedikit mengancam, “Tahukah kau Shalih Rasyidi? Dia adalah guruku, pembimbingku. Sayang dia menyelisihiku tentang keyakinan al-Qur’an. Maka aku suruh dia diseret dan dipenggal.”

Ahmad pun menjawab dengan jawaban yang sama. Al-Mu’tashim kembali merayu. Namun seolah rayuannya adalah pupuk yang semakin mengokohkan prinsip Ahmad. Semakin dirayu semakin tak bergeming.

Sampai akhirnya al-Mu’tashim geram dan menyuruh algojonya menyeret ke tempat eksekusi.

Saat digiring ke tempat eksekusi, tiba-tiba saja ada yang menarik baju Ahmad.

“Kenal aku?” tanyanya.

“Tidak,” jawab Ahmad.

“Aku Abul Haitsam. Pencuri yang bengis. Tertulis di catatan Amirul Mukminin aku dicambuk 18.000 kali cambukan. Tapi aku berusaha menahan pedihnya cambukan. Padahal dalam rangka mencari dunia menaati syaithan. Sedangkan engkau dalam rangka membela agama menaati Allah. Maka sabarlah! Sabarlah.”

Karena kejadian itu, sering Ahmad berdoa, “Ya Allah, ampunilah Abul Haitsam.”

Sampailah Ahmad di tempat eksekusi. Ternyata al-Mu’tashim ditemani Ibnu Abi Duad telah berada di sana.

Ctar…!!! Benar-benar gila! Tanpa perasaan!

Ctar…!!! Sakit. Pedih. Namun, Ahmad berusaha mengingat-ingat pesan badui dan kawannya.

Ctar..!!! Tiba-tiba pandangan Ahmad mulai berkunang-kunang samar. Pingsan sesaat, lalu sadar kembali. Benar-benar tak berperasaan.

Ctar..!!! Kawan, andaikan kau di sana, kau tak akan tahan melihat betapa beringasnya algojo mencambuk Ahmad.

Al-Mu’tashim sendiri tak tega. “Sungguh aku telah berbuat dosa kepadanya.”

“Tidak, Amirul Mukminin!” tiba-tiba saja Ibnu Abi Duad menyela Amirul Mukminin.

“Kenapa engkau berdosa!? Dia itu kafir. Dia itu musyrik. Pendosa. Kesyirikannya tidak hanya satu.” dengan menggebu-gebu Ibnu Abi Duad menyulut amarah al-Mu’tashim.

Benar saja. “Yang keras!!!” teriak al-Mu’tashim kepada algojonya.

Ctar…!!!! Oh…sakit tak tertanggungkan. Sekarang pandangan Ahmad benar-benar hitam. Ahmad baru sadar saat tabib mengambil dagingnya yang mati akibat kejamnya cambukan tadi. Namun karena perihnya terapi sang tabib, Ahmad kembali pingsan.

Di tempat lain, al-Mu’tashim benar-benar menyesali perbuatannya. Biadab. Tak berperi kemanusiaan. Hatinya gundah. Pikirannya kacau. Terlebih saat diberi tahu bahwa Ahmad berkata, “Akan aku tuntut mereka di hadapan Allah tabaraka wa ta’ala.” Al-Mu’tashim pucat, takut, dan was-was. Akhirnya dia membebaskan Ahmad.

Dan diriwayatkan bahwa Ahmad berkata, “Aku telah memaafkan semuanya. Kecuali Ibnu Abi Duad dan yang semisal dengannya.”

Begitulah, kawan. Semoga sedikit kisah ini bermanfaat bagiku dan bagimu. Keep istiqamah
Dan sedikit bocoran: perjuangan Imam Ahmad belum habis.
Insya Allah, kita lanjutkan lain waktu.
Atau, engkau yang memberi tahuku kisah selanjutnya.

Baarakallahu fiik.

✏_Syabab MDS Skh
=====*****======
Publikasi:
WA Salafy Solo
Channel Salafy Solo
https://telegram.me/salafysolo
www.salafymedia.com
11 Shafar 1437 H | 22.11.2015

Related posts

One Thought to “Kisah Imam Ahmad Disiksa al Mu’thasim (TAHAN AIR MATAMU-2)”

  1. Jazakumullahu khoiron ats faedahnya

Leave a Comment