PENJELASAN RINGKAS TENTANG 10 HARI PERTAMA DZULHIJJAH, QURBAN, DAN HARI RAYA ‘IDUL ‘ADH-HA
Penulis : Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah
kepada makhluk-Nya adalah dijadikannya musim (masa-masa tertentu) bagi
hamba-hamba-Nya yang shalih untuk memperbanyak amal shalih di dalamnya.
Di antara musim (masa-masa) tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan
Dzulhijjah.
KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH
1. Allah Ta’ala berfirman:
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (Al-Fajr: 1-2)
yang sepuluh adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnu Az-Zubair, Mujahid, dan yang lainnya.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari.”
2. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجلٌ خرج
بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك بشيء.
dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari ini. Para
shahabat bertanya: Termasuk pula jihad fi sabilillah? Beliau bersabda:
Ya, termasuk pula jihad fi sabilillah, kecuali seseorang yang keluar
dengan jiwa dan hartanya dan tidak kembali darinya sedikit pun.” (HR.
Al-Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi. Lafazh ini adalah lafazh Abu Dawud)
3. Allah ta’ala berfirman:
“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (Al Hajj: 28)
Ibnu ‘Abbas berkata: “(Yakni) sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” (Tafsir Ibni Katsir).
4. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
subhanahu wata’ala jika amalan shalih dikerjakan di dalamnya daripada
sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada
hari-hari tersebut.” (HR. Ahmad)
hadits Ibnu ‘Abbas (poin no. 2) di atas- ketika telah memasuki sepuluh
hari pertama bulan Dzulhijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh untuk
beribadah sampai-sampai hampir beliau tidak mampu untuk mengerjakannya.
(HR. Ad-Darimi)
sebab diistimewakannya sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah
karena waktu tersebut merupakan tempat berkumpulnya (dan ditunaikannya)
induk dari berbagai macam ibadah, yaitu shalat, puasa, shadaqah, dan
haji. Itu semua tidak terjadi pada waktu yang lain.”
AMALAN YANG DISUNNAHKAN
Untuk Dikerjakan Pada 10 Hari Pertama Dzulhijjah
1. Shalat
memperbanyak yang sunnah, karena ini adalah termasuk amalan yang paling
afdhal untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shahabat
Tsauban radhiyallahu ‘anhu berkata : Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
seseunnguhnya tidaklah kamu bersujud kepada Allah sekali saja melainkan
Allah akan mengangkat satu derajatmu dan Allah akan menghapus satu
kesalahan darimu.” (HR. Muslim).
Dan ini (bersujud) mencakup semua waktu, kapan pun dilaksanakan.
2. Puasa
untuk diperbanyak pada hari-hari itu). Dari Hunaidah bin Khalid, dari
istrinya, dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia
berkata:
dan hari ‘asyura’ (tanggal sepuluh Muharram), dan tiga hari pada setiap
bulannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan An Nasa’i).
bulan Dzulhijjah bahwa itu adalah amalan yang sangat disenangi
(disunnahkan).
3. Takbir, Tahlil, Tahmid
Berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan di atas:
“Maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.”
Hurairah radhiyallahu ‘anhuma keluar menuju pasar pada sepuluh hari
pertama bulan Dzulhijjah dan bertakbir, kemudian orang-orang pun juga
ikut bertakbir ketika mendengar takbir keduanya.”
di kubahnya di Mina, maka kemudian orang-orang yang berada di dalam
masjid mendengarnya dan mereka pun ikut bertakbir, dan orang-orang yang
berada di pasar pun juga ikut bertakbir sampai-sampai Mina bergetar
disebabkan suara takbir mereka.”
juga bertakbir setiap selesai mengerjakan shalat, bertakbir ketika
berada di atas ranjangnya, di dalam kemahnya, di majelisnya, dan di
setiap perjalanannya pada hari-hari tersebut.
sebagaimana yang dilakukan Umar, anaknya (yakni Ibnu ‘Umar), dan Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhum.
sunnah tersebut yang sudah hilang pada zaman ini dan hampir dilupakan
bahkan oleh ahlu ash shalah wal khair (orang-orang yang memiliki
kebaikan dan keutamaan) sekalipun. Dan yang memprihatinkan adalah apa
yang terjadi sekarang justru menyelisihi amaliyah yang biasa dilakukan
as salafush shalih.
Lafazh Takbir
Ada tiga lafazh,
– Pertama :
– Kedua :
– Ketiga :
4. Puasa hari Arafah
Puasa pada hari Arafah sangat ditekankan berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tentang puasa hari Arafah:
“Aku berharap kepada Allah untuk menghapus dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya.” (HR. Muslim).
Beliau juga bersabda ketika ditanya tentang puasa ‘Arafah :
“(Puasa Arafah tersebut) menghapuskan dosa satu tahun yang lalu dan yang akan datang.” (HR. Muslim)
haji-, maka tidak disunnahkan baginya berpuasa karena Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam melakukan wuquf di Arafah dalam keadaan berbuka (tidak
berpuasa).
KEUTAMAAN HARI NAHR [1]
mukminin pun lalai dari kemuliaan dan keutamaannya yang sangat besar,
banyak, dan melimpah pada hari tersebut. Demikianlah, padahal sebagian
‘ulama berpendapat bahwa hari itu adalah hari yang paling afdhal (utama)
dalam setahun secara mutlak termasuk juga (lebih afdhal daripada) hari
Arafah.
“Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari Nahr, kemudian hari Al Qarr.”
Hari Al Qarr adalah hari ketika berada di Mina, yaitu hari ke-11 (bulan Dzulhijjah).
daripada hari Nahr, karena puasa yang dikerjakan pada hari itu akan
menghapus kesalahan yang dilakukan selama dua tahun (setahun sebelumnya
dan setahun setelahnya), dan tidak ada hari yang Allah membebaskan hamba
dari Neraka lebih banyak daripada pada hari Arafah, dan juga karena
Allah subhanahu wata’ala akan mendekat kepada hamba-hamba-Nya pada hari
itu kemudian Allah akan membanggakan orang-orang yang wuquf di hadapan
para malaikat.
Arafah, maka setiap muslim hendaknya bersemangat, baik dia sedang
berhaji maupun sedang mukim (tidak berhaji) untuk meraih keutamaannya
dan memanfaatkan kesempatan pada hari itu (untuk banyak melakukan amalan
kebajikan).
Bagaimana Menyambut Musim (masa-masa) yang Penuh Kebaikan?
musim (masa-masa) yang penuh kebaikan dengan taubat yang jujur dan
sebenar-benarnya, dengan meninggalkan segala bentuk perbuatan dosa dan
maksiat karena sesungguhnya dosa-dosa itu akan menyebabkan seseorang
diharamkan dari keutamaan Rabbnya dan akan menghalangi hati dari
Penolongnya (Allah ta’ala).
kebaikan itu disambut dengan tekad yang jujur dan kesungguhan untuk
memanfaatkan masa tersebut dengan menjalankan amalan yang bisa
mendatangkan ridha Allah ‘Azza wa Jalla. Barangsiapa yang jujur kepada
Allah, maka Allah akan membenarkannya.
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.
(Al-’Ankabut: 69)
ini sebelum lewat darimu, yang akan menyebabkan kamu menyesal, tidak ada
waktu untuk menyesal. Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepadaku
dan kepada kamu untuk bisa memanfaatkan musim (masa-masa) yang penuh
kebaikan ini, dan kami memohon kepada-Nya pertolongan agar bisa
menjalankan ketaatan dan bagusnya ibadah kepada-Nya pada masa tersebut.
AL-UDH-HIYAH
Sekelumit Hukum-Hukum terkait dengan Al-Udh-hiyah (Qurban) dan Pensyari’atannya
Adh-ha disebabkan adanya ‘Id (Hari Raya), dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah ‘azza wajalla.
dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berqurbanlah.” (Al-Kautsar: 2)
Dan firman-Nya:
الْعَالَمِينَ. لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ
الْمُسْلِمِينَ.
matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya;
dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang
yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al-An’am: 162-163)
Waktu Pelaksanaan Al-Udh-hiyah
kondisinya tidak boleh dilaksanakan sebelum waktunya, dan tidak boleh
pula dilaksanakan setelah keluar dari waktunya, kecuali jika
mengakhirkannya dalam rangka mengqadha’ disebabkan ‘udzur tertentu.
mengerjakan shalat ‘Id, seperti orang-orang yang tinggal di daerahnya
(tidak dalam keadaan safar). Atau juga dilaksanakan setelah ada
kesempatan bagi orang-orang yang tidak mengerjakan shalat ‘Id, seperti
musafir dan penduduk yang tinggal di pedalaman (Badui).
disembelih tadi adalah hewan sembelihan biasa, bukan termasuk Udh-hiyah
dan wajib untuk menyembelih lagi dengan tata cara yang sama setelah
shalat sebagai penggantinya, hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
hanya daging sembelihan biasa yang disuguhkan untuk keluarganya saja,
dan bukan termasuk nusuk (sembelihan qurban) sedikitpun.” (Ahmad dan
Ibnu Majah)
“Dan barangsiapa yang menyembelih setelah shalat, maka sempurnalah nusuk (ibadah qurban)nya
dan mencocoki sunnah kaum muslimin.”
Jenis (Keadaan) Hewan Yang Layak dan Memenuhi Kriteria Untuk Dijadikan Hewan Qurban
Hewan yang dijadikan qurban adalah dari jenis hewan ternak saja, berdasarkan firman Allah ta’ala:
(qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak
yang telah dirizkikan Allah kepada mereka.” (Al-Hajj: 34).
dari jenis dha’n (domba) maupun ma’z (kambing jawa). Demikain yang
dinyatakan Ibnu Katsir, dan beliau berkata: “Ini adalah pendapat
Al-Hasan, Qatadah, dan yang lainnya. Ibnu Jarir berkata: Demikian juga
jenis seperti inilah yang dimaksud di kalangan orang Arab.” -selesai
penukilan-.
Kecuali jika kalian kesulitan mendapatkannya, maka dibolehkan bagi
kalian untuk menyembelih jadza’ah (yang berumur muda) dari jenis dha’n.”
(HR. Muslim)
berumur lima tahun. Tsaniyah pada Sapi adalah sapi yang genap berumur
dua tahun. Tsaniyah pada Kambing (baik dari jenis dha’n maupun ma’z)
adalah yang genap berumur satu tahun.
(sesembelihan yang dilakukan jama’ah haji), sehingga amalan ini tidak
disyari’atkan kecuali dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Tidak pernah dinukilkan dari beliau bahwa beliau menyembelih
untuk hadyu maupun qurban dari selain unta, sapi, dan kambing.
(domba), kemudian ma’z (Kambing Jawa), kemudian sepertujuh dari unta,
dan kemudian sepertujuh dari sapi.
banyak dagingnya, sempurna fisiknya, dan bagus dipandang. Dalam Shahih
Al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu berqurban dengan menyembelih dua kambing kibasy yang bertanduk dan amlah.”
Amlah adalah yang warna putihnya bercampur dengan hitam.
Keadaan Hewan Qurban yang Harus Dihindari
bagaimana yang hendaknya dihindari?” Maka beliau memberikan isyarat
dengan tangannya dan bersabda:
rusak matanya dan jelas kerusakannya, (3) yang sakit dan jelas sakitnya,
dan (4) yang kurus dan tidak bersumsum.” (HR. Abu Dawud no. 2802,
At-Tirmidzi no. 1502, Ibnu Majah no. 3144 dengan sanad yang dishahihkan
oleh An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Majmu’ 8/227. )
riwayat An-Nasa’i disebutkan pengganti dari lafazh Al-Kasir (yang
lemah).
dan belum memenuhi kriteria untuk dijadikan hewan qurban, yaitu:
matanya cekung ataupun cembung. Jika hewan tadi tidak bisa melihat
dengan matanya akan tetapi kerusakannya tidak nampak jelas, maka itu
masih memenuhi kriteria. Akan tetapi jika selamat (sehat) dari kelainan
tersebut, maka itu lebih baik.
sakitnya pada hewan tersebut, seperti demam yang menghalanginya dari
gembalaan (tidak bisa digembalakan), dan juga seperti kudis yang parah
dan bisa merusak daging atau berpengaruh terhadap kesehatannya, atau
yang semisalnya dari penyakit yang dianggap oleh orang-orang sebagai
penyakit yang nyata. Jika pada hewan ada sifat malas atau tubuhnya lemah
yang tidak menghalangi dari gembalaan (bisa digembalakan) dan dimakan,
maka ini sudah mencukupi kriteria, akan tetapi jika dipilih hewan yang
kondisinya lebih segar, maka itu lebih baik.
berjalan bersama hewan-hewan lain yang sehat (sehingga selalu
tertinggal). Jika hewan tersebut mengalami kepincangan yang ringan dan
tidak menghalanginya dari berjalan bersama hewan-hewan yang lain (bisa
berjalan normal seperti yang lainnya), maka ini sudah mencukupi
kriteria, akan tetapi memilih hewan yang lebih sehat (tidak ada
kepincangan padanya) itu lebih baik.
kurus atau lemah tetapi masih ada sumsumnya, maka ini sudah mencukupi.
Kecuali jika hewan tersebut mengalami kepincangan yang sangat jelas.
Akan tetapi hewan yang gemuk dan sehat itu lebih baik.
tersebut tentang larangan menjadikannya sebagai hewan qurban. Para ulama
juga berpendapat demikian. Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam kitab
Al-Mughni mengatakan: “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat
tentang tidak terpenuhinya kriteria binatang yang demikian kondisinya
sebagai hewan qurban.” -Selesai penukilan-.
kondisinya semakna (seperti) dengan empat keadaan di atas atau bahkan
yang lebih parah dari itu. Masuk dalam kategori ini adalah:
dengan matanya. Hewan ini lebih layak untuk tidak memenuhi kriteria
hewan qurban, karena kondisinya lebih parah daripada hewan “yang rusak
matanya dan jelas kerusakannya.”
pada waktu siang dan tidak bisa melihat pada malam hari, maka madzhab
Asy-Syafi’i menyatakan bahwa itu sudah mencukupi kriteria, karena yang
demikian tidak tergolong hewan “yang rusak matanya dan jelas
kerusakannya”, dan tidak pula termasuk yang buta terus menerus sehingga
mempengaruhi penggembalaan dan perkembangbiakannya. Akan tetapi hewan
yang tidak menderita seperti itu lebih baik.
kotorannya (berak). Karena penyakit pada pencernaan itu akan menimbulkan
bahaya seperti penyakit yang nyata. Jika dia berhasil membuang
kotorannya (berak), maka hilanglah kondisi kritis pada hewan tersebut
dan sudah bisa mencukupi kriteria untuk dijadikan hewan qurban jika
tidak terjadi dengannya penyakit yang jelas.
melahirkan), karena kondisi seperti ini sangat berbahaya, terkadang bisa
memutus kehidupannya (mati) sehingga diserupakan dengan penyakit yang
nyata. Bisa saja hewan tersebut memenuhi kriteri untuk dijadikan hewan
qurban jika melahirkan itu memang menjadi kebiasaan baginya dan tidak
mengalami masa yang membuat dagingnya berubah dan rusak.
seperti tercekik, terpukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas.
Karena yang demikian kondisinya itu lebih pantas untuk tidak mencukupi
kriteria sebagai hewan qurban daripada hewan “yang menderita sakit yang
jelas sakitnya” dan hewan “yang pincang dan jelas kepincangannya.”
penyakit tertentu, ini lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria
sebagai hewan qurban daripada hewan “yang pincang dan jelas
kepincangannya.” Adapun hewan yang lemah tidak mampu berjalan karena
kegemukan, maka madzhab Malikiyah meyatakan hal itu sudah mencukupi
karena tidak adanya penyakit pada hewan tersebut dan tidak ada cacat
pada tubuhnya.
ini juga lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria sebagai hewan
qurban daripada “yang pincang dan jelas kepincangannya.” Dan juga karena
telah hilang bagian yang vital dari tubuhnya sehingga diserupakan
dengan hewan yang terpotong ekornya.
hewan qurban, yaitu ada sepuluh, empat di antaranya telah disebutkan
secara nash dan yang enam adalah dengan qiyas. Jika didapati salah satu
dari keadaan-keadaan (cacat) tersebut pada hewan ternak, maka tidak
boleh berqurban dengannya karena tidak terpenuhinya salah satu syarat
yaitu selamat (sehat) dari cacat yang bisa menghalangi terpenuhinya
kriteria ideal hewan qurban.
Apakah Boleh Berqurban Atas Nama Mayit (Orang yang Sudah Meninggal Dunia)?
Pada asalnya berqurban itu disyari’atkan terhadap orang-orang yang
masih hidup sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para
shahabatnya dahulu berqurban untuk diri mereka sendiri dan keluarganya.
Adapun permasalahan yang diyakini sebagian orang awam yaitu
pengkhususan qurban untuk orang yang sudah meninggal, maka ini tidak ada
dasarnya dalam syari’at ini.
hanya mengikuti yang masih hidup, seperti seseorang berqurban atas nama
dirinya sendiri dan keluarganya, dan dia meniatkan keluarga yang
dimaksud di sini adalah yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Dasar dari amalan ini adalah qurban yang dilakukan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika beliau berqurban atas nama diri beliau sendiri
dan keluarganya, dan di antara anggota keluarganya ada yang sudah
meninggal sebelumnya.
maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya.
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah:
181)
terpisah (berdiri sendiri) dari yang masih hidup, maka ini
diperbolehkan. Para ulama madzhab Al-Hanabilah menyatakan bahwa
pahalanya akan sampai kepada si mayit dan bisa memberikan manfaat
baginya, atas dasar qiyas dengan amalan shadaqah atas nama dia.
orang yang sudah meninggal itu merupakan sunnah (tuntutan Nabi), karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengkhususkan berqurban
atas nama seorang pun dari orang-orang yang sudah meninggal. Tidak
pernah beliau berqurban atas nama paman beliau, Hamzah, padahal dia
adalah salah seorang kerabat yang paling mulia di sisi beliau. Dan tidak
pula beliau berqurban atas nama anak-anaknya yang telah meninggal
ketika beliau masih hidup, tiga anak perempuan yang telah menikah dan
tiga anak laki-laki yang masih kecil. Dan tidak pula beliau berqurban
atas nama istri beliau, Khadijah padahal beliau adalah salah seorang
istri yang paling beliau cintai. Dan tidak pernah pula disebutkan dari
para shahabat pada zamannya, bahwa salah seorang dari mereka berqurban
atas nama seseorang yang sudah meninggal.
orang adalah mereka berqurban (menyembelih hewan) atas nama orang yang
telah meninggal pada awal tahun kematiannya yang mereka namakan dengan
Udh-hiyatul Hufrah. Mereka berkeyakinan bahwa tidak boleh bagi seorang
pun untuk bersama-sama dalam meraih pahala dengan si mayit tersebut.
Atau mereka berqurban dari harta orang yang sudah meninggal dalam rangka
shadaqah ataupun menjalankan wasiatnya, dan tidak berqurban atas nama
diri sendiri dan keluarganya. Kalau seandainya mereka mengetahui bahwa
seseorang jika berqurban dari hartanya sendiri atas nama diri dan
keluarganya baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, maka
mereka tidak akan meninggalkan yang seperti ini untuk berpaling kepada
amalan mereka (sebelumnya) tersebut.
Hal-Hal Yang Harus Dijauhi Oleh Seseorang Yang Hendak Berqurban
baik dengan cara ru’yatul hilal maupun menyempurnakan bulan Dzulqa’dah
menjadi 30 hari – maka diharamkan baginya untuk mengambil (memotong)
sedikitpun dari rambut, kuku, dan kulitnya sampai dia benar-benar telah
menyembelih hewan qurbannya. Berdasarkan hadits Ummu Salamah
radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
seorang dari kalian hendak menyembelih hewan qurban, maka tahanlah
(tidak memotong) dari rambut dan kukunya.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Dan dalam lafazh yang lain:
tersebut, maka hendaknya dia menahan diri (untuk tidak
mengambil/memotong rambut, kuku, dan kulitnya) mulai saat itu juga, dan
dia tidak berdosa jika pernah mengambil/memotongnya ketika sebelum
berniat.
berarti dia turut serta bersama jama’ah haji dalam melakukan sebagian
amaliah manasik – yaitu dalam bentuk menyembelih hewan qurban – maka dia
pun juga harus turut serta (dengan para jama’ah haji) dalam hal
sebagian kekhususan (keadaan ketika) ihram, berupa menahan diri (tidak
mengambil/memotong) rambut dan yang semisalnya. Atas dasar ini, maka
dibolehkan bagi keluarga orang yang hendak berqurban untuk
mengambil/memotong rambut, kuku, dan kulitnya pada sepuluh hari pertama
bulan Dzulhijjah tersebut.
bagi Al-Mudhahha ‘Anhu (pihak yang diatasnamakan padanya qurban), maka
tidak ada kaitannya sama sekali dengan hukum tersebut karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Dan salah seorang dari kalian hendak menyembelih hewan qurban …”
Dan tidak mengatakan:
“… ataupun juga bagi yang diatasnamakan padanya qurban.”
pernah berqurban dengan mengatasnamakan keluarganya, namun tidak pernah
dinukilkan dari beliau bahwa beliau memerintahkan mereka (keluarganya)
untuk menahan diri (tidak mengambil/memotong) itu semua.
dari rambut, kuku, ataupun kulitnya, maka wajib atas dia untuk bertaubat
kepada Allah ta’ala dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Tidak
diwajibkan bagi dia untuk membayar kaffarah, dan tidak pula menghalangi
dia untuk menyembelih hewan qurbannya sebagaimana yang disangka oleh
sebagian orang awam [2].
mengerti hukumnya, atau karena rambut tersebut rontok tanpa disengaja,
maka tidak ada dosa baginya. Dan jika memang benar-benar sangat
diperlukan untuk mengambil/memotongnya (karena darurat), maka yang
demikian diperbolehkan baginya dan tidak terkenai tanggungan (dosa)
sedikitpun, misalnya ketika kukunya patah yang menyebabkan gangguan
padanya, sehingga dia harus memotongnya, ataupun rambutnya terurai ke
bawah sampai mengenai kedua matanya sehingga dia harus menghilangkannya,
dan juga karena sangat dibutuhkan untuk pengobatan luka dan yang
semisalnya.
BEBERAPA HUKUM DAN ADAB TERKAIT DENGAN HARI RAYA ‘IDUL ADH-HA YANG PENUH BARAKAH INI
petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam semua aspek
kehidupan kita. Dan segala bentuk kejelekan adalah dengan menyelisihi
petunjuk Nabi kita. Oleh karena itulah kami bermaksud untuk menyebutkan
kepada anda sebagian perkara yang disunnahkan untuk diamalkan ataupun
diucapkan pada malam idul Adh-ha yang penuh barakah, hari Nahr (tanggal
10), dan tiga hari-hari Tasyriq (tanggal 11, 12, 13). Dan
perkara-perkara tersebut telah kami ringkas dalam beberapa poin berikut :
hari ‘Arafah (tanggal 9) sampai waktu ‘Ashr pada hari Tasyriq yang
terakhir yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (Al Baqarah: 203)
Dan lafazh Takbir adalah:
masjid-masjid, pasar-pasar, rumah-rumah, dan setiap selesai shalat dalam
rangka memperlihatkan keagungan Allah dan menampakkan ibadah dan rasa
syukur kepada-Nya.
menggantinya dengan yang lain, dan barangsiapa yang belum menyembelih
(setelah shalat ‘Id), maka lakukanlah penyebelihan.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
dan tiga hari-hari Tasyriq (11, 12, 13), berdasarkan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam:
tanpa berlebihan dan tidak isbal (Memanjangkan kain celana/sarung
sampai melebihi mata kaki)
Dan tidak pula memotong jenggot karena ini semua adalah sesuatu yang diharamkan.
mushalla ‘id tanpa tabarruj (berhias) dan memakai wewangian. Tidak sah
jika melakukan ketaatan kepada Allah dan melakukan shalat, tetapi pada
yang saat bersamaan bermaksiat kepada-Nya dengan melakukan tabarruj,
tidak memakai hijab (cadar), dan memakai wewangian di hadapan laki-laki.
Makan Dari Hewan Sembelihan
(tempat shalat ‘Id) dan kemudian memakan daging sembelihannya. (Zadul
Ma’ad I/441)
Dan menurut sunnah adalah shalat ‘id itu dilakukan di mushalla [3]
kecuali jika di sana ada udzur seperti hujan, maka shalat di masjid
berdasarkan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
kalangan para ‘ulama, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, adalah
bahwa shalat ‘id itu hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah ta’ala:
“Maka Dirikanlah shalat tarena Rabbmu; dan berqurbanlah.” (Al Kautsar: 2)
wanita juga (diwajibkan) menghadiri shalat ‘id bersama dengan kaum
muslimin lainnya walaupun sedang mengalami haid maupun yang sedang
berada dalam pingitan. Akan tetapi para wanita haid diharuskan berada
pada posisi yang terpisah dengan mushalla.
jalan tertentu dan ketika pulang dengan melewati jalan yang lain karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuat yang demikian.
Mengucapkan Selamat Hari Raya, karena hal ini pernah dilakukan para shahabat Rasulullah.
HATI-HATI DARI KESALAHAN YANG SERING TERJADI PADA HARI RAYA
Berhati-hatilah wahai saudaraku muslim dari ketergelinciran kepada
kesalahan yang banyak terjadi di tengah-tengah manusia, di antara
kesalahan tersebut adalah:
1. Mengumandangkan takbir secara bersama-sama dengan satu suara
(serempak) atau mengulang-ulang takbir di belakang seorang yang
mengumandangkannya.
2. Melakukan permainan pada hari ‘id dengan sesuatu yang haram,
seperti mendengarkan musik, menonton film, ikhthilat (bercampur baurnya
laki-laki dan perempuan) yang bukan mahramnya, dan yang lainnya dari
bentuk-bentuk kemungkaran.
3. Mengambil (menggunting) rambut dan memotong kuku walaupun
sedikit sebelum menyembelih hewan qurbannya bagi yang akan berqurban
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang yang demikian.
4. Berlebihan dan boros (dalam menghamburkan harta) untuk
sesuatu yang tidak ada manfaat dan mashlahatnya berdasarkan firman Allah
ta’ala:
“Dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Al An’am: 141)
bersemangat dalam beramal kebajikan seperti silaturrahim, mengunjungi
kerabat, meninggalkan sikap saling membenci, hasad, dan tidak suka
kepada saudaranya, serta berupaya untuk membersihkan hati dari itu
semua, menyantuni fakir miskin dan anak yatim, membantu mereka, dan
berusaha menggembirakan mereka.
untuk beramal dengan amalan yang dicintai dan diridhai-Nya, dan agar
Allah memberikan kepahaman terhadap agama kita, dan agar Allah
menjadikan kita termasuk di antara hamba-hamba-Nya yang bisa beramal
pada hari-hari ini -sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah- dengan amalan
yang shalih dan ikhlas semata-mata mengharapkan wajah-Nya yang mulia.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Diambil dari Maqalat Wa Fatawa Wa Rasail
Fadhilatusy Syaikh Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahu ta’ala.
diterjemahkan oleh : Ust. Abu ‘Abdillah Kediri dan Abu ‘Amr Ahmad
*
[1] Tanggal 10 Dzulhijjah.
[2] Sebagian orang awam berkeyakinan kalau orang yang hendak
berqurban memotong rambut, kuku, maupun kulitnya pada sepuluh hari
pertama Dzulhijjah, maka dia harus membatalkan niatnya untuk berqurban
tersebut. Ini adalah keyakinan yang keliru.
[3] Yakni selain masjid. Namun di luar masjid, berupa tanah yang
lapang, kosong, dan luas yang diistilahkan mushalla. Biasanya terletak
di pinggir desa/kampung.
Sumber: Darussalaf