Masa Jahiliah
bertentangan dengan syariat Islam. Rasulullah n pun telah menghapus
segala bentuk pernikahan jahiliah dan menetapkan yang sesuai dengan
Islam. Telah diceritakan oleh Aisyah x sebagaimana dalam riwayat al-Imam
al-Bukhari di dalam Shahih-nya (no. 4834). Beliau x berkata,
“Pernikahan di masa jahiliah ada empat bentuk:
1. Pernikahan seperti yang kita kenal sekarang ini. Seorang lelaki
datang mengkhitbah (melamar) kepada wali wanita atau kepada wanitanya,
lalu sepakat untuk kemudian melangsungkan pernikahan.
2. Seorang suami berkata kepada istrinya, ‘Bila engkau telah suci dari
haid maka pergilah engkau ke fulan dan berhubunganlah engkau dengannya!’
Suami tersebut menjauhi istrinya dan tidak menggaulinya sampai istrinya
benar-benar hamil dari laki-laki tersebut. Jika benar-benar hamil dan
dia menyukainya, dia terima. Hal ini dia lakukan supaya mendapatkan anak
bangsawan.
Pernikahan ini disebut dengan nikah istibdha’.
3. Beberapa lelaki berkumpul untuk mendatangi seorang wanita. Jika
wanita tersebut hamil dan melahirkan, setelah berlalu beberapa malam
dari melahirkan, semua lelaki itu tidak boleh menolak untuk dikumpulkan
di hadapan wanita tersebut. Wanita itu berkata, ‘Kalian sudah mengetahui
perkaranya dan (bayi) telah lahir. Dia adalah putramu (menunjuk
seseorang yang diinginkan oleh wanita tersebut).’
Kemudian anak itu diikutkan kepadanya dan laki-laki tersebut tidak boleh menolak.
4. Seorang wanita didatangi oleh banyak lelaki dan wanita tersebut tidak
boleh menolak siapa pun yang datang kepadanya. Mereka adalah
wanita-wanita pelacur. Mereka memasang tanda pengenal (bendera). Jika
hamil dan melahirkan, mereka—para lelaki—yang mendatanginya berkumpul,
lantas melihat bayinya mirip dengan siapa. Jika mereka menemukan
(kemiripan), mereka ikutkan kepadanya (laki-laki yang paling mirip) dan
dia (sang laki-laki) tidak bisa menolaknya.
Tatkala Allah l mengutus Rasulullah n, beliau menghapus segala bentuk
pernikahan tersebut kecuali pernikahan seperti sekarang ini.”
Di sisi lain, kaum jahiliah dengan kesyirikan yang mereka perbuat
meyakini lebih banyak hal, terkhusus tentang pernikahan. Mereka meyakini
adanya hari-hari dan bulan yang mengandung banyak kejelekan atau
kesialan. Akhirnya, mereka meyakini jika menikah pada hari atau bulan
itu akan menuai kerugian dan kecelakaan. Di antara bentuknya, mereka
meninggalkan segala bentuk aktivitas pada hari Rabu (Lihat Mausu’at
Tauhid Rabbil’ Abid 5/56). Bahkan, mereka tidak melakukan pernikahan
pada hari-hari antara dua ied (Idul Fitri dan Idul Adha). (Lihat Syarah
Masail Jahiliah hlm. 214)
Mereka juga tidak melakukan aktivitas pernikahan pada bulan Syawwal,
sebagaimana disebutkan oleh al-Imam Ibnu Rajab al-Hambali t. Mereka
beranggapan, bulan tersebut mengandung kejelekan dan kesialan. Mereka
juga tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu pada bulan Shafar
karena menurut mereka, bulan Shafar mengandung segudang kesialan. Mereka
menahan diri (menunda) untuk berpergian, melakukan perniagaan, dan
membangun rumah tangga (pernikahan) pada waktu tersebut. (Lihat Fathul
Majid Syarah Kitabut Tauhid 2/515 dan I’anatul Mustafid Bi Syarah Kitab
Tauhid 2/9)
Pernikahan dalam Islam
Dalam pembahasan-pembahasan akidah dalam edisi yang telah lewat sering
disinggung tentang meratanya amal kesyirikan dalam segenap lini
kehidupan kaum muslimin. Tidak ada satu celah pun yang akan mengantarkan
kepada untung dan rugi, bahagia dan sengsara, selamat dan celaka, baik
dan buruk, melainkan ada amalan kesyirikan di sana.
Contohnya, ketika seseorang akan menimbang adanya untung dan rugi,
melalui sebuah usaha perdagangan, pertanian, perternakan, dan
sebagainya, semuanya akan berujung pada apa yang dipetuahkan sang dukun.
Jika sang dukun mengatakan akan ada keuntungan besar dalam usaha ini,
dia dengan penuh semangat berjuang dan berkorban untuk
merealisasikannya. Jika sebaliknya, dia akan mengakhirkan langkah tanpa
berpikir panjang.
Pernikahan yang jelas-jelas ada syariatnya dan jelas bimbingannya, mulai
dari rencana sampai pelaksanaannya, sampai pun perjalanan hidup kedua
insan telah ada aturannya dalam agama, tetap tidak lepas dari
amalan-amalan kesyirikan. Saat seseorang ingin membangun rumah tangga,
sang dukun menjadi pemutus semua perkara dalam pelaksanaannya, dari
kapan waktu yang terbaik, tepat, dan menguntungkan, baik harinya maupun
bulannya, baik penanggalan hijriah atau masehi, seolah-olah dukun
mengetahui rahasia hidup setiap manusia. Semuanya jelas-jelas
bertentangan dengan Islam.
Tidak luput juga terkait dengan calon yang akan dijadikan pasangan,
sudah barang tentu akan meminta petuah sang dukun. Cocokkah? Layakkah?
Akan mendatangkan kebahagiaan di kemudian hari atau malah mendatangkan
marabahaya? Akan menguntungkan atau tidak? Akan menjadi orang kaya jika
menikah dengannya atau malah menjadi miskin?
Sekali lagi, Allah l mereka anggap bukan lagi satu-satunya tempat
mengadu dan mengeluh. Bahkan, ketika akad telah selesai, sang wanita
tidak boleh masuk ke rumah sang lelaki melainkan didahului acara
menyembelih di hadapan sang wanita, agar ketika memasuki rumah sang
suami tidak terkena gangguan jin dan mata jahat. (Lihat al-Ighatsah
Syarah Utsul Tsalatsah hlm. 23)
Jika Allah l menakdirkan hamil, ada acara mandi pada bulan ketujuh di
sebuah tempat untuk mendapatkan keberkahan dan keselamatan serta agar
janin tersebut terpelihara dari segala macam gangguan; yang diistilahkan
oleh orang Jawa: mitoni.
Demikian pula memakai jimat-jimat ketika hamil, baik yang dipasang di
tangan, kaki, maupun di pinggang, baik dari lingkaran benang maupun
akar-akar kayu. Semuanya adalah perbuatan yang menyelisihi akidah yang
benar.
Adat Istiadat
adat istiadat yang berlaku di sebuah daerah. Siapa pun yang akan
melakukan pernikahan dipersyaratkan melalui tata cara adat tersebut.
Jika ada yang mencoba menentangnya karena adat tersebut menyelisihi
norma-norma agama, pernikahan itu bisa dibatalkan. Sampai sedemikan rupa
kekuatan hukum adat dalam menata kehidupan manusia. Dari manakah
sesungguhnya hukum adat tersebut?
Jika didalami dan dikaji, adat istiadat sesungguhnya merupakan aturan
peninggalan para leluhur dan nenek moyang yang mengandung ketidakjelasan
status agama dan keyakinan mereka. Jika dicermati dengan saksama, kita
akan menemukan berbagai macam adat itu bermuara pada adat istiadat
jahiliah sebagaimana contoh di atas, yaitu adanya anggapan sial dengan
hari, bulan, dan tempat tertentu, lantas mengembalikan segala urusan
hidup kepada paranormal alias dukun. Bahkan, bisa dikatakan banyak adat
istiadat dalam kehidupan kaum muslimin yang banyak kemiripan dengan
agama di luar Islam seperti agama Hindu dan Budha.
Saudaraku kaum muslimin, mari kita membersihkan segala bentuk amaliah
kita dari noda-noda kesyirikan yang akan menghancurkan masa depan kita,
baik di dunia maupun di akhirat. Allah l mengutus para rasul untuk
melakukan perbaikan di muka bumi ini dan termasuk mandat yang pertama
dan utama yang mereka emban dari Allah l adalah agar menyerukan kepada
tauhidullah dan mengingkari segala bentuk kesyirikan.
Wallahu a’lam.
Sumber : asysyariah.com