(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi)
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka
meyakini ayat-ayat kami.” (As-Sajdah: 24)
petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka
meyakini ayat-ayat kami.” (As-Sajdah: 24)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
A`immah (para pemimpin), adalah jamak dari imam.
Maknanya adalah panutan atau contoh yang diikuti baik dalam kebaikan
maupun keburukan. Namun yang dimaksud di dalam ayat ini adalah panutan
dan penuntun dalam hal kebaikan. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’di berkata: Mereka adalah ulama yang mengerti syariat.
maupun keburukan. Namun yang dimaksud di dalam ayat ini adalah panutan
dan penuntun dalam hal kebaikan. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’di berkata: Mereka adalah ulama yang mengerti syariat.
Mereka mengajak, memberi hidayah kepada dirinya dan kepada orang lain.
Berdasarkan perintah Kami, kepada mereka.
Al-Imam Ath-Thabari t berkata: “Berdasarkan izin Kami dan Kami kuatkan mereka.”
Ketika mereka bersabar. Terjadi perbedaan di kalangan ahli qira`ah
dalam membaca lafadz ini. Ada yang membacanya () dengan lam yang
difathah dan mim yang difathah dengan tasydid. Bacaan ini merupakan
bacaan ahli qira`ah dari Madinah, Bashrah, dan sebagian ulama Kufah.
Maknanya adalah: Ketika mereka bersabar.
dalam membaca lafadz ini. Ada yang membacanya () dengan lam yang
difathah dan mim yang difathah dengan tasydid. Bacaan ini merupakan
bacaan ahli qira`ah dari Madinah, Bashrah, dan sebagian ulama Kufah.
Maknanya adalah: Ketika mereka bersabar.
Ada pula yang membaca () dengan lam yang dikasrah dan mim tanpa tasydid.
Ini adalah bacaan Yahya, Hamzah, Al-Kisa`i, Khalaf, dan yang lainnya.
Maka lafadz ini bermakna: Disebabkan karena kesabaran mereka. Dan
disebutkan pula bahwa Ibnu Mas’ud membaca dengan (). (lihat Tafsir
Ath-Thabari, 21/113)
Ini adalah bacaan Yahya, Hamzah, Al-Kisa`i, Khalaf, dan yang lainnya.
Maka lafadz ini bermakna: Disebabkan karena kesabaran mereka. Dan
disebutkan pula bahwa Ibnu Mas’ud membaca dengan (). (lihat Tafsir
Ath-Thabari, 21/113)
Kandungan Ayat
Ibnu Katsir t berkata: “Ketika mereka (ahli kitab) bersabar terhadap
perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya,
membenarkan para rasul-Nya, serta mengikuti apa-apa yang mereka bawa,
sehingga di antara mereka ada yang menjadi pemimpin yang senantiasa
membimbing kepada kebenaran berda-sarkan aturan Allah, mengajak kepada
kebaikan, beramar ma’ruf dan nahi mungkar.
Namun ketika mereka mengubah agamanya dan menakwilkan maknanya,
kedudukan inipun dihilangkan dari mereka. Hati mereka kemudian berubah
menjadi keras, mereka ubah firman-firman-Nya dari tempat yang
semestinya. Maka lenyaplah amalan shalih dan aqidah yang benar.” (Tafsir
Ibnu Katsir, 3/464)
perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya,
membenarkan para rasul-Nya, serta mengikuti apa-apa yang mereka bawa,
sehingga di antara mereka ada yang menjadi pemimpin yang senantiasa
membimbing kepada kebenaran berda-sarkan aturan Allah, mengajak kepada
kebaikan, beramar ma’ruf dan nahi mungkar.
Namun ketika mereka mengubah agamanya dan menakwilkan maknanya,
kedudukan inipun dihilangkan dari mereka. Hati mereka kemudian berubah
menjadi keras, mereka ubah firman-firman-Nya dari tempat yang
semestinya. Maka lenyaplah amalan shalih dan aqidah yang benar.” (Tafsir
Ibnu Katsir, 3/464)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t berkata: “Kami menjadikan
mereka, yakni kalangan Bani Israil, sebagai pemimpin yang membimbing
berdasarkan aturan Kami. Mereka adalah para ulama yang memahami syariat
dan jalan-jalan hidayah. Mereka mendapat petunjuk dan membimbing orang
lain dengan petunjuk itu. Maka kitab yang diturunkan kepada mereka
adalah hidayah. Dan kaum mukminin dari mereka terbagi menjadi dua: para
pemimpin yang membimbing berdasarkan aturan Allah, dan para pengikutnya
yang terbimbing oleh mereka.
mereka, yakni kalangan Bani Israil, sebagai pemimpin yang membimbing
berdasarkan aturan Kami. Mereka adalah para ulama yang memahami syariat
dan jalan-jalan hidayah. Mereka mendapat petunjuk dan membimbing orang
lain dengan petunjuk itu. Maka kitab yang diturunkan kepada mereka
adalah hidayah. Dan kaum mukminin dari mereka terbagi menjadi dua: para
pemimpin yang membimbing berdasarkan aturan Allah, dan para pengikutnya
yang terbimbing oleh mereka.
Adapun yang pertama: derajatnya lebih tinggi -setelah derajat kenabian
dan kerasulan- yaitu derajat para shiddiqin. Mereka mencapai derajat
mulia ini di saat mereka bersabar untuk senantiasa belajar dan mengajar,
berdakwah menuju jalan Allah, dan bersabar dalam menghadapi berbagai
gangguan di jalan-Nya. Serta mereka mencegah diri-diri mereka dari
berbagai kemaksiatan dan terlena dalam buaian syahwat.
dan kerasulan- yaitu derajat para shiddiqin. Mereka mencapai derajat
mulia ini di saat mereka bersabar untuk senantiasa belajar dan mengajar,
berdakwah menuju jalan Allah, dan bersabar dalam menghadapi berbagai
gangguan di jalan-Nya. Serta mereka mencegah diri-diri mereka dari
berbagai kemaksiatan dan terlena dalam buaian syahwat.
“Dan mereka senantiasa yakin dengan ayat-ayat Kami,”
Yaitu mereka mencapai derajat iman terhadap ayat-ayat Allah menuju
derajat yakin, yaitu ilmu yang sempurna yang membuahkan amalan. Mereka
mencapai derajat yakin, disebabkan karena mereka belajar dengan benar
dan mengambil berbagai permasalahan dari dalil-dalilnya. Maka mereka
senantiasa mempelajari berbagai permasalahan dan berdalil dengannya,
dengan berbagai macam bukti, sehingga mencapai keyakinan. Maka dengan
kesabaran dan keyakinan, kepemimpinan agama akan diperoleh.”
derajat yakin, yaitu ilmu yang sempurna yang membuahkan amalan. Mereka
mencapai derajat yakin, disebabkan karena mereka belajar dengan benar
dan mengambil berbagai permasalahan dari dalil-dalilnya. Maka mereka
senantiasa mempelajari berbagai permasalahan dan berdalil dengannya,
dengan berbagai macam bukti, sehingga mencapai keyakinan. Maka dengan
kesabaran dan keyakinan, kepemimpinan agama akan diperoleh.”
Ibnul Qayyim t berkata: “Dengan kesabaran dan keyakinan maka diperoleh
kepemimpinan dalam agama.” Ada yang mengatakan: Bersabar dari dunia. Ada
pula yang berkata: Bersabar di atas segala cobaan. Ada lagi yang
mengatakan: Bersabar dari segala larangan-Nya.
kepemimpinan dalam agama.” Ada yang mengatakan: Bersabar dari dunia. Ada
pula yang berkata: Bersabar di atas segala cobaan. Ada lagi yang
mengatakan: Bersabar dari segala larangan-Nya.
Yang benar, yang dimaksud dengan kesabaran adalah bersabar dari
semuanya, bersabar dalam menjalankan kewajiban dari Allah, bersabar dari
perbuatan haram, dan bersabar menghadapi ketentuan taqdir-Nya. Allah U
menggabungkan antara sabar dan yakin, sebab keduanya merupakan
kebaha-giaan seorang hamba, dan hilangnya dua hal itu akan meyebabkan
hilangnya kebaha-giaan.
semuanya, bersabar dalam menjalankan kewajiban dari Allah, bersabar dari
perbuatan haram, dan bersabar menghadapi ketentuan taqdir-Nya. Allah U
menggabungkan antara sabar dan yakin, sebab keduanya merupakan
kebaha-giaan seorang hamba, dan hilangnya dua hal itu akan meyebabkan
hilangnya kebaha-giaan.
Karena sesungguhnya hati selalu diketuk dengan berbagai syahwat yang
menyelisihi perintah Allah dan dengan berbagai syubhat yang menyelisihi
berita-berita-Nya. Maka dengan kesabaran, syahwat tertolak; dan dengan
keyakinan, syubhat tersingkirkan. Karena syahwat dan syubhat merupakan
lawan agama dari berbagai sisi.
menyelisihi perintah Allah dan dengan berbagai syubhat yang menyelisihi
berita-berita-Nya. Maka dengan kesabaran, syahwat tertolak; dan dengan
keyakinan, syubhat tersingkirkan. Karena syahwat dan syubhat merupakan
lawan agama dari berbagai sisi.
Sehingga tidak ada yang terselamatkan dari siksa Allah kecuali orang
yang mampu menolak syahwatnya dengan kesabaran dan menolak syubhat
dengan keyakinan. Oleh karena itu, Allah U mengabarkan tentang
terhapusnya amalan para pengikut syahwat dan ahli (pengikut) syubhat,
dalam firman-Nya:
yang mampu menolak syahwatnya dengan kesabaran dan menolak syubhat
dengan keyakinan. Oleh karena itu, Allah U mengabarkan tentang
terhapusnya amalan para pengikut syahwat dan ahli (pengikut) syubhat,
dalam firman-Nya:
“(Keadaan kamu hai orang-orang munafik dan musyrikin adalah) seperti
keadaan orang-orang yang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu,
dan lebih banyak harta benda dan anak-anaknya daripada kamu. Maka mereka
telah menik-mati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagianmu
sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagian-nya, dan kamu
mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakap-kannya.
Mereka itu, amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat; dan
mereka itulah orang-orang yang merugi.” (At-Taubah:69)
Yang dimaksud menikmati bagian mereka adalah menikmati bagiannya dari
syahwat, lalu Allah menyatakan: Dan kamu memperbincangkan hal yang batil
seperti yang mereka perbincangkan. Ini adalah pembicaraan dengan cara
yang batil dalam agama Allah, pembicaraan ahli syubhat. Kemudian Allah
menyatakan: Mereka itulah yang dihapuskan amalan mereka di dunia dan di
akhirat. Mereka itulah orang-orang yang merugi. Maka Allah U
menyandarkan terhapusnya amalan dan mendapatkan kerugian dengan
mengikuti syahwat dan syubhat. (Risalah Ibnul Qayyim, hal. 16-17)
syahwat, lalu Allah menyatakan: Dan kamu memperbincangkan hal yang batil
seperti yang mereka perbincangkan. Ini adalah pembicaraan dengan cara
yang batil dalam agama Allah, pembicaraan ahli syubhat. Kemudian Allah
menyatakan: Mereka itulah yang dihapuskan amalan mereka di dunia dan di
akhirat. Mereka itulah orang-orang yang merugi. Maka Allah U
menyandarkan terhapusnya amalan dan mendapatkan kerugian dengan
mengikuti syahwat dan syubhat. (Risalah Ibnul Qayyim, hal. 16-17)
Berjihad Melawan Setan
Sesungguhnya Allah telah menjadikan setan sebagai musuh bagi para Nabi dan kaum mukminin. Allah berfirman:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka
membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang
indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya
mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang
mereka ada-adakan.”(Al-An’am: 112)
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh
(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya
supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Maka ayat yang mulia ini menyebut-kan adanya dua senjata ampuh untuk menghadapinya, yaitu sabar dan yakin.
Ibnul Qayyim t menjelaskan dalam kitabnya Zadul Ma’ad bahwa berjihad melawan setan terdiri dari dua bagian:
Pertama: Berjihad melawannya dengan cara menolak syubhat dan berbagai
keraguan yang dapat merusak keimanan yang dilemparkan kepada seorang
hamba.
keraguan yang dapat merusak keimanan yang dilemparkan kepada seorang
hamba.
Kedua: Berjihad melawannya dengan cara menolak berbagai kehendak yang rusak dan syahwat yang dilemparkan kepada seorang hamba.
Jihad yang pertama akan menghasil-kan keyakinan dan jihad yang kedua menghasilkan kesabaran. (Zadul Ma’ad, 3/10)
Maka seorang muslim hendaknya berusaha sekuat mungkin untuk melawan dua
senjata setan yang telah menyebabkan banyak dari kalangan manusia
menyimpang dari jalan Allah. Jika tidak, maka setan akan menghunjamkan
salah satu senjata yang dimilikinya itu atau bahkan kedua-duanya.
Sehingga dengan berbagai macam fitnah syubhat dan syahwat, hatinya
tertutupi dari menerima hidayah dari Allah I. Rasulullah n bersabda:
senjata setan yang telah menyebabkan banyak dari kalangan manusia
menyimpang dari jalan Allah. Jika tidak, maka setan akan menghunjamkan
salah satu senjata yang dimilikinya itu atau bahkan kedua-duanya.
Sehingga dengan berbagai macam fitnah syubhat dan syahwat, hatinya
tertutupi dari menerima hidayah dari Allah I. Rasulullah n bersabda:
“Dilekatkan berbagai fitnah kepada hati-hati (manusia), seperti
anyaman tikar sehelai demi sehelai. Maka hati mana saja menyukainya,
maka diberi titik berupa satu titik hitam. Dan hati mana saja yang
mengingkarinya, maka diberi titik dengan satu titik putih. Sehingga ada
yang hatinya berwarna putih seperti batu licin berwarna putih, tidak
dimudharatkan oleh fitnah selama bumi dan langit masih ada. Dan hati
yang lain berwarna hitam keruh, seperti gelas terbalik. Dia tidak
mengenal yang ma’ruf, dan tidak mengingkari kemungkaran kecuali yang
dimasuki oleh hawa nafsunya.” (HR. Muslim dari Hudzaifah z)
Menangkal Syubhat dan Syahwat
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa senjata setan dalam
menyebarkan fitnah terdiri dari dua macam: fitnah syubhat dan fitnah
syahwat, di mana fitnah syubhat adalah yang terbesar. Terkadang kedua
fitnah ini dapat bercokol pada diri seorang hamba dan terkadang pula
salah satunya.
menyebarkan fitnah terdiri dari dua macam: fitnah syubhat dan fitnah
syahwat, di mana fitnah syubhat adalah yang terbesar. Terkadang kedua
fitnah ini dapat bercokol pada diri seorang hamba dan terkadang pula
salah satunya.
Adapun fitnah syubhat disebabkan karena lemahnya wawasan dan dangkalnya
ilmu dien (agama). Terlebih lagi jika dibarengi adanya maksud jelek,
munculnya hawa nafsu, sehingga yang menjadi hakim adalah hawa nafsu, dan
bukan petunjuk, sebagaimana yang difirmankan Allah:
ilmu dien (agama). Terlebih lagi jika dibarengi adanya maksud jelek,
munculnya hawa nafsu, sehingga yang menjadi hakim adalah hawa nafsu, dan
bukan petunjuk, sebagaimana yang difirmankan Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan
saudara-saudaramu pemimpin-pemimpin-mu, jika mereka lebih mengutamakan
kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka
pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.”
(At-Taubah: 23)
Sungguh Allah telah mengabarkan bahwa mengikuti hawa nafsu menjadi sebab tersesatnya seseorang dari jalan Allah. Firman-Nya:
“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan
adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan
Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.” (Shad: 26)
Setelah menyebut ayat ini, Al-Imam Ibnul Qayyim t berkata: “Akibat
fitnah ini adalah kekufuran dan kemunafikan. Ini adalah fitnah yang
dialami kaum munafik dan ahli bid’ah sesuai tingkat kebid’ahan-nya.
Secara keseluruhan, tidaklah mereka berbuat bid’ah melainkan dikarenakan
terkena berbagai fitnah syubhat yang menyebabkan tersamarnya kebenaran
dan kebatilan, dan antara petunjuk dan kesesatan.
fitnah ini adalah kekufuran dan kemunafikan. Ini adalah fitnah yang
dialami kaum munafik dan ahli bid’ah sesuai tingkat kebid’ahan-nya.
Secara keseluruhan, tidaklah mereka berbuat bid’ah melainkan dikarenakan
terkena berbagai fitnah syubhat yang menyebabkan tersamarnya kebenaran
dan kebatilan, dan antara petunjuk dan kesesatan.
Tidak ada yang dapat menyelamatkan dari fitnah ini melainkan dengan cara
memurnikan sikap ittiba’ (senantiasa mengikuti) kepada Rasul.
Menjadikannya sebagai hakim dalam seluruh perkara agama, yang jelas
maupun yang pelik, yang nampak maupun yang tersembunyi, baik yang
mencakup masalah aqidah, amalan, prinsip, dan syariatnya. Maka diambil
ilmu dari Rasul dalam perkara hakekat keimanan, syariat Islam, dan
apa-apa yang ditetapkan Allah dari sifat, perbuatan, nama-nama-Nya, dan
apa-apa yang dinafikan darinya.
memurnikan sikap ittiba’ (senantiasa mengikuti) kepada Rasul.
Menjadikannya sebagai hakim dalam seluruh perkara agama, yang jelas
maupun yang pelik, yang nampak maupun yang tersembunyi, baik yang
mencakup masalah aqidah, amalan, prinsip, dan syariatnya. Maka diambil
ilmu dari Rasul dalam perkara hakekat keimanan, syariat Islam, dan
apa-apa yang ditetapkan Allah dari sifat, perbuatan, nama-nama-Nya, dan
apa-apa yang dinafikan darinya.
Sebagaimana diambilnya ilmu darinya dalam perkara kewajiban shalat,
waktu-waktunya, dan jumlah rakaatnya. Demikian pula ketentuan dalam
membayar zakat, orang-orang yang berhak menerimanya. Juga tentang
wajibnya wudhu dan mandi dari junub, berpuasa di bulan Ramadhan. Maka
jangan dia menjadikannya sebagai Rasul dalam sebagian perkara, namun
tidak pada sebagian perkara agama yang lain. Tetapi beliau adalah
seorang rasul dalam setiap perkara, di mana umat sangat mem-butuhkannya
dalam berilmu dan beramal.
waktu-waktunya, dan jumlah rakaatnya. Demikian pula ketentuan dalam
membayar zakat, orang-orang yang berhak menerimanya. Juga tentang
wajibnya wudhu dan mandi dari junub, berpuasa di bulan Ramadhan. Maka
jangan dia menjadikannya sebagai Rasul dalam sebagian perkara, namun
tidak pada sebagian perkara agama yang lain. Tetapi beliau adalah
seorang rasul dalam setiap perkara, di mana umat sangat mem-butuhkannya
dalam berilmu dan beramal.
Tidak boleh diambil agama kecuali darinya, karena petunjuk seluruhnya
bersumber di antara ucapan dan perbuatannya. Dan setiap apa yang
menyimpang darinya maka itu adalah kesesatan. Hatinya terikat di atas
hal tersebut dan berpaling dari yang lainnya dan menimbangnya
berdasarkan apa yang dibawa Rasul. Jika sesuai dengan apa yang dibawa
Rasul, maka diapun menerimanya. Dan dia menerimanya bukan karena ucapan
orang tersebut, melainkan karena mencocoki Rasul. Dan jika bertentangan
dengan apa yang dibawa Rasul, maka diapun menolaknya, siapapun yang
mengatakan-nya. Maka inilah yang dapat menyelamat-kannya dari fitnah
syubhat.
bersumber di antara ucapan dan perbuatannya. Dan setiap apa yang
menyimpang darinya maka itu adalah kesesatan. Hatinya terikat di atas
hal tersebut dan berpaling dari yang lainnya dan menimbangnya
berdasarkan apa yang dibawa Rasul. Jika sesuai dengan apa yang dibawa
Rasul, maka diapun menerimanya. Dan dia menerimanya bukan karena ucapan
orang tersebut, melainkan karena mencocoki Rasul. Dan jika bertentangan
dengan apa yang dibawa Rasul, maka diapun menolaknya, siapapun yang
mengatakan-nya. Maka inilah yang dapat menyelamat-kannya dari fitnah
syubhat.
Jika ia tidak memperoleh hal itu, maka dia akan terjerumus ke dalam
fitnah sesuai kadar dia meninggalkan (As-Sunnah). Fitnah ini terkadang
muncul dari pemaham-an yang rusak, terkadang dari nukilan seorang
pendusta, dan terkadang dari kebenaran yang tersamarkan atasnya dan
belum menemukannya. Terkadang pula dari adanya tendensi yang rusak, hawa
nafsu yang diikuti, sehingga dia menjadi buta dalam berilmu dan rusak
dalam kehendak-nya.
fitnah sesuai kadar dia meninggalkan (As-Sunnah). Fitnah ini terkadang
muncul dari pemaham-an yang rusak, terkadang dari nukilan seorang
pendusta, dan terkadang dari kebenaran yang tersamarkan atasnya dan
belum menemukannya. Terkadang pula dari adanya tendensi yang rusak, hawa
nafsu yang diikuti, sehingga dia menjadi buta dalam berilmu dan rusak
dalam kehendak-nya.
Adapun yang kedua adalah fitnah syahwat. Di mana Allah telah
mengumpul-kan kedua fitnah tersebut dalam firman-Nya yang telah lalu
yaitu:
mengumpul-kan kedua fitnah tersebut dalam firman-Nya yang telah lalu
yaitu:
“(Keadaan kamu hai orang-orang munafik dan musyrikin adalah) seperti
keadaan orang-orang yang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu,
dan lebih banyak harta benda dan anak-anaknya daripada kamu. Maka mereka
telah menik-mati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagianmu
sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagian-nya, dan kamu
mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakap-kannya.
Mereka itu, amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat; dan
mereka itulah orang-orang yang merugi.”(At-Taubah:69).
Maka ayat ini mengisyaratkan kepada apa yang terjadi dari rusaknya hati
dan keyakinan dengan sebab menikmati bagian (syahwatnya) dan tenggelam
dalam kebatilan yaitu syubhat.
dan keyakinan dengan sebab menikmati bagian (syahwatnya) dan tenggelam
dalam kebatilan yaitu syubhat.
Sebab rusaknya agama terkadang disebabkan karena keyakinan batil yang
bercokol atau beramal menyelisihi ilmu yang benar. Maka yang pertama
adalah bid’ah dan segala yang berhubungan dengannya, dan yang kedua
adalah kefasikan dalam beramal. Yang pertama datangnya dari arah syubhat
sedangkan yang kedua datangnya dari arah syahwat. Oleh karena itu para
ulama Salaf mengatakan:
bercokol atau beramal menyelisihi ilmu yang benar. Maka yang pertama
adalah bid’ah dan segala yang berhubungan dengannya, dan yang kedua
adalah kefasikan dalam beramal. Yang pertama datangnya dari arah syubhat
sedangkan yang kedua datangnya dari arah syahwat. Oleh karena itu para
ulama Salaf mengatakan:
“Hati-hatilah dari dua jenis manusia: pengikut hawa nafsu yang telah
terfitnah oleh hawa nafsunya dan hamba dunia yang telah dibutakan oleh
dunianya.”
Mereka juga mengatakan: “Hati-hatilah dari terfitnahnya seorang alim
yang fajir dan ahli ibadah yang jahil. Karena sesungguhnya fitnah
keduanya merupakan fitnah bagi setiap orang yang terfitnah.”
yang fajir dan ahli ibadah yang jahil. Karena sesungguhnya fitnah
keduanya merupakan fitnah bagi setiap orang yang terfitnah.”
Sumber dari setiap fitnah adalah mendahulukan ra`yu (akal) daripada
syariat dan mendahulukan hawa nafsu daripada akal. Maka yang pertama
merupakan sumber fitnah syubhat, sedangkan yang kedua merupakan sumber
fitnah syahwat. Maka fitnah syubhat ditolak dengan keyakinan, sedangkan
fitnah syahwat ditolak dengan kesabaran. Maka dari itulah Allah
menjadikan kepemimpinan dalam agama disandarkan kepada dua perkara ini.”
(Lihat Ighatsatul Lahfan, Ibnul Qayyim, 2/165-167).
syariat dan mendahulukan hawa nafsu daripada akal. Maka yang pertama
merupakan sumber fitnah syubhat, sedangkan yang kedua merupakan sumber
fitnah syahwat. Maka fitnah syubhat ditolak dengan keyakinan, sedangkan
fitnah syahwat ditolak dengan kesabaran. Maka dari itulah Allah
menjadikan kepemimpinan dalam agama disandarkan kepada dua perkara ini.”
(Lihat Ighatsatul Lahfan, Ibnul Qayyim, 2/165-167).
Wallahul muwaffiq.
sumber Majalah Asy-Syariah