Cinta Adalah Pengorbanan, Tanda Cinta Ibrahim Sang Khalil

CINTA ADALAH PENGORBANAN, TANDA CINTA IBRAHIM SANG KHALIL

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits hafizhahullah

Bertahun-tahun sudah, suara tangis bayi belum juga memenuhi rumah
tangga Khalil Allah, Ibrahim alaihissalam. Sarah, istri beliau juga
sudah semakin renta. Menurut kita, keadaan seperti ini mustahil akan
beroleh anak. Tapi apakah demikian keyakinan seorang yang menyandang
kedudukan tertinggi dalam berhubungan dengan Sang Khaliq Yang Maha
Kuasa?
Tentu tidak.
Seorang yang bertauhid, senantiasa bersegera dalam kebaikan, selalu
waspada, tidak berputus asa dan tetap membersihkan hatinya dari berbagai
kotoran, terlebih lagi Nabiyullah Khalilur Rahman Ibrahim alaihissalam
yang selalu berdoa, meminta kepada Allah Subhanahuwata’ala agar diberi
karunia seorang anak.
Allah Subhanahuwata’ala berfirman tentang Ibrahim:
“Wahai Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang
termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira
dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada
umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Wahai
anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.
Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Wahai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah
berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya),
(nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: ‘Wahai Ibrahim,
sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu’, sesungguhnya demikianlah
Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya
ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan
seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian
yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.”
(Ash-Shaffat: 100-108)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahuwata’ala menceritakan
tentang Khalil-Nya Ibrahim alaihissalam setelah meninggalkan kaumnya.
Ibrahim meminta kepada Rabbnya agar diberi anugerah berupa seorang anak
yang shalih. Kemudian Allah Subhanahuwata’ala memberi kabar gembira
kepadanya dengan kelahiran seorang anak yang penyabar, yaitu Isma’il
alaihissalam.
Inilah putra pertama beliau, yang lahir di saat Nabi Ibrahim
alaihissalam berusia 86 tahun, sebagaimana disepakati oleh seluruh
agama. Usia yang cukup renta dan mustahil menurut kita masih akan
beroleh anak. Tapi, siapa yang ragu dengan kekuasaan Allah
Subhanahuwata’ala, kalau bukan orang-orang yang tidak beriman? Atau
sangat tipis imannya?
Kemudian, perhatikan pula doa yang dipanjatkan Ibrahim, bukan
semata-mata naluri kerinduan seorang ayah, tapi lebih dari itu. Harapan
utama, agar anak itu adalah anak yang shalih, berguna bagi sesama.
Seorang anak, jika dia tidak bermanfaat, tentu akan merugikan orang
lain, bahkan dapat menjadi azab bagi siapa saja terlebih kedua
orangtuanya. Nas’alullaha as-salamah.
Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu.
Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan
anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak
akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.”
(At-Taubah: 55)
Oleh karena itu pula, ketika seorang mukmin berdoa, mengharapkan
kehadiran anak, tetapi belum terkabul, janganlah terburu-buru dan ingin
disegerakan terwujud harapannya. Lihatlah bagaimana Nabi dan Khalil
Allah, Ibrahim alaihissalam. Selama berpuluh tahun, beliau tetap meminta
dan berdoa kepada Allah Subhanahuwata’ala agar diberi anugerah berupa
seorang anak yang shalih.
Simaklah apa yang difirmankan Allah Subhanahuwata’ala:
“Dan kabarkanlah kepada mereka tentang tamu-tamu Ibrahim. Ketika
mereka masuk ke tempatnya, lalu mereka mengucapkan: ‘Salam.’ Berkata
Ibrahim: ‘Sesungguhnya kami merasa takut kepadamu.’ Mereka berkata:
‘Janganlah kamu merasa takut, sesungguhnya kami memberi kabar gembira
kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi)
orang yang alim.’ Berkata Ibrahim: ‘Apakah kamu memberi kabar gembira
kepadaku padahal usiaku telah lanjut, maka dengan cara bagaimanakah
(terlaksananya) berita gembira yang kamu kabarkan ini?’ Mereka menjawab:
‘Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah
kamu termasuk orang-orang yang berputus asa.’ Ibrahim berkata: ‘Tidak
ada yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang-orang yang
sesat’.”
(Al-Hijr: 51-56)
Orang-orang sesat, yaitu orang-orang yang mendustakan dan jauh dari
kebenaran. Maksudnya, beliau merasa tidak mungkin beroleh anak karena
sudah rentanya, bukan karena putus asa dari rahmat Allah
Subhanahuwata’ala.
Ingatlah pula bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي
“Akan dikabulkan untuk kalian (doa kalian) selama tidak terburu-buru,
(dengan mengatakan): ‘Aku sudah berdoa tapi tidak dikabulkan untukku’.”
(HR. Al-Bukhari, Kitab Ad-Da’awat dan Muslim Kitab Adz-Dzikri wa
Ad-Da’awat)
Karena itu janganlah berputus asa. Teladanilah Al-Khalil
alaihissalam. Terlebih lagi pertolongan dan kelapangan itu selalu datang
di saat kesulitan dan kesempitan memuncak. Rasulullah Shalallahu’alaihi
wa sallam mengingatkan kita dalam sabdanya:
وَاعْلَمْ أَنَّ فِي الصَّبْرِ عَلَى مَا تَكْرَهُ خَيْرًا كَثِيرًا
وَأَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ
وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Dan ketahuilah bahwa dalam kesabaran terhadap apa yang tidak engkau
senangi terdapat kebaikan yang sangat banyak. Ketahuilah pula, bahwa
pertolongan itu bersama kesabaran, dan jalan keluar, kelapangan ada
bersama kesempitan/kesulitan, dan bahwasanya bersama kesulitan itu pasti
ada kemudahan.” (HR. Ahmad)
Kelahiran Isma’il
Dengan hadirnya Isma’il, serasa lengkap kehidupan rumah tangga
Ibrahim Al-Khalil. Hari-hari begitu manis. Setiap ada kesempatan,
Ibrahim bermain-main mesra dengan Isma’il hingga suatu ketika terlihat
oleh Sarah. [1]
Allah Subhanahuwata’ala Maha Tahu.
Ketika melihat rasa cinta kepada sang putra mulai mengambil tempat
dalam relung hati Ibrahim, Sang Kekasih cemburu kepada Khalil-Nya bila
ada di dalam hatinya tempat untuk ‘kekasih’ lain selain Dia. Maka Allah
Subhanahuwata’ala perintahkan Ibrahim menyembelih putranya, tempat
curahan cinta dan kasih sayangnya saat itu. Namun maksud sebenarnya
bukanlah menyembelih anak itu, bukan pula sebagai siksaan. Perintah itu
tidak lain adalah agar membersihkan relung-relung hati Ibrahim hanya
untuk-Nya, tidak untuk ditempati yang lain dan agar (cinta itu) semakin
murni hanya untuk Allah Subhanahuwata’ala.
Di saat seperti itu, Ibrahim alaihissalam melihat dalam mimpi bahwa
dia diperintah untuk menyembelih putranya ini. Perintah melalui mimpi
ini pun memiliki suatu hikmah tertentu, yakni agar pelaksanaan perintah
itu lebih besar terasa sebagai ujian dan cobaan.
Kita maklumi, ketika itu beliau begitu mengharap kehadiran seorang
anak yang akan mewarisinya. Setelah Allah Subhanahuwata’ala
menyenangkannya dengan mengabulkan doanya, anak itupun lahir, tumbuh
pesat, Allah Subhanahuwata’ala perintahkan dia menyembelih putranya.
Dengan perintah ini, kalau dia jalankan, lenyaplah keturunannya,
buyarlah harapannya. Sungguh, ini ujian yang sangat berat dan sangat
manusiawi. Seorang manusia, seusia Nabi Ibrahim alaihissalam, baru
dikaruniai Allah Subhanahuwata’ala seorang putra setelah bertahun-tahun
mendambakannya, kemudian harus menerima kenyataan anak itu lenyap dari
pandangannya. Entah meninggal dunia atau hilang dan sebagainya.
Kita ingat, betapa sedihnya Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam,
ketika putra beliau Ibrahim dari Maria Al-Qibthiyah meninggal dunia
dalam pelukan beliau. Air mata beliau menitik, hatipun berduka.
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu, dia menceritakan:
دَخَلْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ n عَلَى أَبِي سَيْفٍ الْقَيْنِ وَكَانَ
ظِئْرًا ِلإِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَم فَأَخَذَ رَسُولُ اللهِ
إِبْرَاهِيمَ فَقَبَّلَهُ وَشَمَّهُ ثُمَّ دَخَلْنَا عَلَيْهِ بَعْدَ
ذَلِكَ وَإِبْرَاهِيمُ يَجُودُ بِنَفْسِهِ فَجَعَلَتْ عَيْنَا رَسُولِ
اللهِ n تَذْرِفَانِ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ :
وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ فَقَالَ: يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ؛
ثُمَّ أَتْبَعَهَا بِأُخْرَى. فَقَالَ: إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ
وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا
بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
Kami masuk kepada Abu Saif Al-Qain -suami ibu susu Ibrahim-, lalu
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam mengambil Ibrahim kemudian
menciumnya. Setelah itu kami masuk pula beberapa waktu kemudian,
sementara Ibrahim sedang tersengal-sengal nafasnya. Mulailah air mata
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam menitik. Berkatalah ‘Abdurrahman
bin ‘Auf radhiyallahuanhu: “Dan engkau, Wahai Rasulullah (menangis)?”
Beliaupun berkata: “Wahai Ibnu Auf, ini adalah rahmat.” Kemudian
menyusul yang berikutnya. Lalu Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam
bersabda: “Sesungguhnya mata ini menangis, hati ini berduka, dan kami
tidak mengucapkan apa-apa kecuali yang diridhai Rabb kami. Sungguh, kami
sangat berduka berpisah denganmu, wahai Ibrahim.”
Tapi mimpi tersebut adalah wahyu. Sang Khalil pun menyambut perintah
itu dan siap menjalankannya. Akhirnya tampaklah hikmah Allah
Subhanahuwata’ala dengan menguji beliau.
Inilah tafsir firman Allah Subhanahuwata’ala:
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (Ash-Shaffat: 106) [2]
Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa
pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar’.”
(Ash-Shaffat: 102)
Demikianlah keimanan seorang ayah yang mulia, yang mengerti betul dia
telah bertindak benar dalam mendidik putranya, dan tahu sejauh mana
keikhlasan putranya yang berbakti. Maka diapun ingin mengajak putranya
bergabung dalam pahala, lalu dia pun bertanya dalam keadaan percaya
penuh jawaban sang putra. Di sini, keduanya menyodorkan kepada kita
ujian agung ini dalam beribadah kepada Allah Subhanahuwata’ala, tunduk
kepada perintah-Nya hingga Allah Subhanahuwata’ala mengabadikan nama
mereka berdua serta memuji keduanya dengan ayat-ayat yang terus dibaca
selama-lamanya.
Tidak ada ujian yang lebih besar daripada ujian yang dipersaksikan
oleh Allah Subhanahuwata’ala bahwa itu adalah ujian yang nyata. Yaitu
membebani seorang manusia dengan perintah menyembelih putranya sendiri
dan membebani yang akan disembelih, agar keduanya beriman dan bersabar,
tunduk serta mengharap pahala.
Ketika keduanya siap menjalankan perintah tersebut, dan Allah
Subhanahuwata’ala mengetahui kejujuran iman keduanya, kesabaran serta
ketundukan mereka, Allah Subhanahuwata’ala ganti sang putra dengan
sembelihan agung. Tak sampai di situ, Allah Subhanahuwata’ala juga
memberi ganjaran kepada sang ayah dengan menganugerahkan kepadanya
seorang putra yang lain karena kesabaran dan keridhaannya menyembelih
putra satu-satunya, Isma’il alaihissalam.
Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
“Dan Kami sampaikan berita gembira kepadanya dengan (akan lahirnya) Ishaq sebagai Nabi di antara orang-orang shalih.”
Allah Subhanahuwata’ala lepaskan mereka berdua karena kesabaran dan ketundukan mereka menghadapi cobaan berat itu.
Beberapa Faedah dari Kisah Ini
Dalam ayat Ash-Shaffat ini Allah Subhanahuwata’ala menjelaskan bahwa
yang disembelih adalah Isma’il, sebab kisah ini disusul dengan berita
gembira kelahiran Ishaq. Pendapat ini mutawatir dari sahabat dan
tabi’in, seperti ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Mujahid, Abu Thufail,
Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Al-Hasan Al-Bashri, Muhammad bin Ka’b
Al-Qurazhi, Sa’id bin Al-Musayyab, Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir, Abu
Shalih, Abu ‘Amr bin Al-‘Ala’, Rabi’ bin Anas, Ahmad bin Hanbal, dan
lain-lain. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dan yang paling
kuatnya dari penafsiran Ibnu ‘Abbas radhiyallahuanhu.
Hadits-hadits dan atsar sahabat serta tabi’in menunjukkan bahwa yang
disembelih adalah Isma’il. Sebab itu pula orang-orang yang berkorban di
hari Nahar, orang yang sa’i di antara Shafa dan Marwah dan melontar
jumrah, (salah satu hikmahnya ialah) sebagai peringatan tentang keadaan
Isma’il dan ibunya Hajar.
Memang ada sebagian ahli tafsir, seperti Al-Baghawi dan Ibnu Jarir
meriwayatkan dari sebagian sahabat dan tabi’in termasuk Ka’b Al-Ahbar
bahwasanya yang disembelih adalah Ishaq. Ternyata tidak berhenti hingga
di sini, sebagian dari mereka menisbahkannya kepada Nabi Shallahu’alaihi
wa sallam. Padahal hadits-hadits yang dinisbahkan kepada Rasulullah
Shallahu’alaihi wa sallam tentang hal ini lemah, tanpa kecuali. Baik
yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ad-Daraquthni, ataupun Ath-Thabarani
dalam Al-Ausath, demikian dijelaskan secara terperinci oleh Dr. Muhammad
Abu Syahbah dalam kitabnya Israiliyat wal Maudhu’at fi Kutubit Tafsir.
Yang benar, riwayat bahwa yang disembelih adalah Ishaq merupakan
kisah Israiliyat dari ahli kitab yang dinukil oleh mereka yang masuk
Islam dari kalangan mereka, seperti Ka’b Al-Ahbar, lalu diterima oleh
sebagian sahabat dan tabi’in, karena husnuzhan (baik sangka) kepada
mereka. Di samping itu, adanya rukhshah (keringanan) bolehnya
menyampaikan berita tentang mereka.
Hakikatnya, riwayat-riwayat ini hanyalah buatan ahli kitab karena
permusuhan mereka yang telah berakar sejak dahulu kala, terhadap Nabi
Shallahu’alaihi wa sallam dan bangsa Arab. Mereka tidak ingin Isma’il,
kakek Nabi Shallahu’alaihi wa sallam dan bangsa Arab yang paling atas,
meraih keutamaan ini. Mereka ingin agar kakek moyang mereka, Ishaq dan
bangsa Yahudilah yang meraihnya.
Tidak ada satu hadits shahih pun dari Rasulullah Al-Ma’shum
Shallahu’alaihi wa sallam memperkuat pendapat tersebut, sehingga
(karenanya) kita harus meninggalkan zahir Al-Qur’anul Karim. Tidak pula
dipahami seperti ini dari Al-Qur’anul Karim. Bahkan mafhum, manthuq,
apalagi nash, menegaskan bahwa yang disembelih adalah Isma’il. [3]
Hal ini sebetulnya tidak perlu diributkan, sudah terbukti bahwa mereka telah mengubah-ubah Taurat.
Allah Subhanahuwata’ala juga berkehendak lain. Mereka lengah.
Sejatinya, para penjahat itu selalu menyisakan jejak, sehingga
kejahatannya dapat ditelusuri lalu dibongkar. Demikianlah al-haq,
kapanpun dan di manapun dia senantiasa akan tetap bersinar meskipun
terkadang redup. Bagaimanapun upaya menutup-nutupi sebuah kebenaran,
pasti suatu ketika bakal terungkap. Mereka memang telah mengubah nama
Isma’il menjadi Ishaq. Di antara buktinya, inilah sebagian cuplikan dari
Taurat mereka:
“Terjadi sesudah ini, untuk beberapa perkara, bahwasanya Allah
menguji Ibrahim lalu berfirman kepadanya: ‘Wahai Ibrahim’, beliaupun
menjawab: ‘Inilah saya.’
Allah Subhanahuwata’ala berfirman: ‘Ambillah anakmu yang tunggal,
yang engkau kasihi, yakni Ishaq dan pergilah ke tanah Moria,
persembahkanlah dia di sana, sebagai korban bakaran, pada salah satu
gunung yang akan Kukatakan kepadamu’.” (Kitab Kejadian: 22,1-2).
Tidak ada bukti paling jelas yang menunjukkan kebohongan mereka
selain dari kata ‘tunggal’ ini. Sudah pasti, Ishaq bukanlah putra
tunggal beliau. Karena beliau telah mempunyai anak yang lainnya yaitu
Isma’il yang berusia 14 atau 15 tahun. Sebagaimana ditegaskan pula oleh
Taurat mereka: “Dan Ibrahim telah berusia 86 tahun ketika Hajar
melahirkan Isma’il untuk Ibrahim.” (Kejadian: 16,1). [4]
Dalam kitab yang sama (Kejadian 21,5): “Ibrahim berusia 100 tahun ketika Ishaq dilahirkan.”
Bagaimana mungkin Allah Subhanahuwata’ala mengingkari janji-Nya dan
memerintahkan Ibrahim menyembelih putranya yang telah dijanjikan
kepadanya keberkatan sang putra? Bagaimana mungkin Ishaq sebagai
satu-satunya putra bagi Ibrahim? Apakah kalian mencoret Ismail sebagai
putra Ibrahim, setelah kalian coret beliau dari kenabian? Yang pasti,
kisah penyembelihan ini terjadi sebelum Ishaq dilahirkan, di saat
Isma’il masih sebagai putra Ibrahim alaihissalam satu-satunya.
Kenyataan bahwa yang disembelih adalah Isma’il, ditunjukkan pula oleh
zahir ayat, di mana Allah Subhanahuwata’ala berfirman setelah
menguraikan kisah penyembelihan ini:
“Dan Kami beri dia kabar gembira dengan kelahiran Ishaq, seorang nabi yang termasuk orang-orang yang shalih.” (Ash-Shaffat: 112)
Sehingga, mereka yang menjadikan kata ﮁ  (seorang Nabi) sebagai haal
(menerangkan keadaan) berarti dia memaksakan (ayat agar sesuai dengan
kemauannya), sandarannya tidak lain adalah riwayat Israiliyat (dari bani
Israil), sementara kitab mereka sudah penuh dengan tahrif (perubahan).
Apalagi di sini, menunjukkan sebuah kepastian yang tidak dapat
dipungkiri lagi. Karena Allah Azza wa jalla menurut mereka –Yahudi
sendiri– memerintahkan Ibrahim menyembelih putra tunggalnya. Bahkan
dalam sebagian naskah Taurat yang disalin ke dalam bahasa Arab tercantum
kata bikr (anak pertama), sebagai ganti wahiid (anak tunggal). Sehingga
kata Ishaq, adalah sisipan palsu, karena beliau bukanlah anak pertama,
dan bukan pula anak tunggal Ibrahim alaihissalam. [5]
Keterangan lain bahwa yang disembelih adalah Ism’ail, bukan Ishaq,
karena seandainya Ishaq yang disembelih, tentunya tidak tepat Ibrahim
diperintah menyembelih Ishaq sebelum lahirnya Ya’qub dari sulbi
(keturunan) beliau. Sebab, jika hal itu diperintahkan jelaslah diketahui
bahwa berita gembira yang pertama menghalangi penyembelihan Ishaq
sebelum lahirnya Ya’qub.
Adapun maksud ujian ini adalah menampakkan tekadnya dan mengokohkan
ketinggian derajat Ibrahim dalam ketaatan kepada Rabbnya. Sebab, seorang
anak begitu besar pengaruhnya dalam diri seorang ayah. Apalagi anak
satu-satunya, yang merupakan harapan sang ayah di masa depan, bertambah
tinggi kedudukannya dalam jiwa sang ayah.
Huruf fa’ pada ayat:
“Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”
Adalah fa’ al-fashihah, artinya, jika engkau mengetahui hal ini, maka
perhatikanlah bagaimana pandanganmu. Adapun pandangan di sini adalah
pandangan dengan akal (pendapat), bukan dengan penglihatan (mata).
Maknanya di sini, perhatikanlah sesuatu yang dengannya engkau hadapi
perintah ini. Sebab perintah ini, ketika berkaitan dengan pribadi sang
anak, maka dia punya bagian dalam pelaksanaan. Sehingga tawaran Ibrahim
kepada putranya ini adalah ujian, seberapa jauh ketaatannya menyambut
perintah Allah Subhanahuwata’ala pada dirinya, sehingga terwujudlah
keridhaan dan kesiapan untuk menjalankan perintah. Ibrahim sendiri juga
dalam keadaan tidak mengharapkan dari putranya selain menerima. Karena
beliau tahu keshalihan putranya.
Artinya di sini, perintah tersebut tergantung kepada dua hal: wahyu
dan penyampaian Rasul. Sehingga andaikata Isma’il mendurhakai, tentulah
keadaannya seperti putra Nuh yang enggan naik ke dalam kapal ketika
diajak oleh ayahandanya Nuh alaihissalam. Jadi, dianggap kafir.
Mimpi sendiri adalah awal permulaan wahyu. Kebenarannya sesuai dengan
kebenaran/kejujuran si pemimpi. Orang yang paling benar mimpinya adalah
yang paling benar ucapannya. Sejalan dengan semakin dekatnya waktu,
hampir-hampir mimpi itu tidak pernah meleset. Sebagaimana sabda Nabi
Shallahu’alaihi wa sallam. Hal itu karena jauhnya masa dari kenabian dan
bekas-bekasnya. Sehingga untuk orang-orang beriman diganti dengan
mimpi. Seperti ini juga adalah apa yang muncul sesudah masa sahabat.
Sedangkan tidak muncul pada sahabat karena mereka tidak membutuhkan hal
itu, disebabkan kekuatan iman mereka.
Mimpi para Nabi adalah wahyu, karena terjaga dari setan. Hal ini
berdasarkan kesepakatan umat. Sebab itulah Al-Khalil (Ibrahim
alaihissalam) menyembelih putranya Isma’il alaihissalam, berdasarkan
mimpi. Siapa yang ingin mimpinya benar, hendaklah dia senantiasa
berusaha jujur dan bersikap benar, memakan yang halal, dan memerhatikan
perintah dan larangan, tidur dengan kesucian sempurna, sambil menghadap
kiblat, dan menyebut nama Allah Subhanahuwata’ala sampai dikalahkan oleh
kantuknya. Kalau sudah demikian, Insya Allah mimpinya tidak akan
berdusta.
Dengan ayat dan kisah ini, sebagian ulama ushul fiqih menjadikannya
dalil sahnya nasikh (hukum yang menghapus) sebelum terlaksananya
perbuatan (yakni hukum yang terhapus). Berbeda dengan sekelompok kaum
Mu’tazilah. Adapun tujuan disyariatkannya mula-mula, adalah meneguhkan
Al-Khalil alaihissalam di atas kesabaran untuk menyembelih anaknya dan
tekadnya melakukan hal tersebut. Sebab itulah Allah Subhanahuwata’ala
berfirman:
“Sesungguhnya ini betul-betul ujian yang nyata.”
Yakni ujian yang jelas gamblang, di mana Allah Subhanahuwata’ala
memerintahkannya menyembelih putranya, lalu dia bersegera dalam keadaan
tunduk menerima perintah Allah Subhanahuwata’ala tersebut dan
menaatinya. Sebab itu pula Allah Subhanahuwata’ala menyatakan:
“Dan Ibrahim yang menepati janji.” (An-Najm: 37)
Tatkala Allah Subhanahuwata’ala mengetahui tekad dan keyakinan serta
kesungguhan Ibrahim menjalankan perintah melalui mimpinya, Allah Yang
Maha Pengasih menebus Isma’il alaihissalam dengan sembelihan yang agung.
Nabi Ibrahim alaihissalam pun sukses dengan gemilang melewati ujian
berat ini. Beliau betul-betul mampu mengejawantahkan derajat khullah,
rasa cinta yang tidak lagi menerima saingan sekecil apapun. Maka Allah
Subhanahuwata’ala pun menginginkan khullah itu murni hanya untuk Allah
Subhanahuwata’ala, tidak disaingi oleh rasa cinta kasih kepada sang
putra ataupun sesuatu yang lainnya.
Maka, jelaslah bahwa di antara sebab paling utama untuk meraih
derajat khullah ini adalah senantiasa datang menghadap kepada Allah
Subhanahuwata’ala, menjaga kesucian hati, niat yang lurus, kekuatan
kesabaran dan keyakinan. Lihatlah betapa Allah Subhanahuwata’ala
mengabulkan doa Ibrahim alaihissalam, dengan menganugerahkan seorang
putra untuk beliau. Demikianlah doa yang muncul dari jiwa yang penuh
dengan keimanan, ketakwaan, dan hati yang bersih dari hawa nafsu, sangat
pantas dikabulkan.
Wallahu a’lam.
********************************
Catatan Kaki:
  1. Kisah Isma’il dan ibunya Hajar e yang dibawa ke Makkah atas perintah
    Allah l, akan diceritakan pada edisi yang lain. Insya Allah.
  2. At-Tahrir wat Tanwiir (12/141) -Program Syamilah.
  3. Al-Bidayah wan Nihayah (1/183) -Program Syamilah
  4. Diterjemahkan sebagaimana yang dinukil dalam bahasa Arab. Wallahu a’lam.
  5. Al-Bidayah wan Nihayah (1/183) -Program Syamilah

Related posts

Leave a Comment