Perkara lain yang demikian serius untuk diperhatikan oleh seorang
peruqyah adalah tidak melakukan tatacara ruqyah yang tidak diajarkan
oleh Rasulullah n. Karena ruqyah adalah amal yang disyariatkan, maka
hendaknya sesuai dengan ajaran yang mengemban syariat. Berikut ini
beberapa tatacara ruqyah yang dicontohkan oleh Rasulullah n:
1. Meniup dengan air ludah yang sangat sedikit, bukan meludah.
Inilah yang disebut dengan an-nafats. Sedangkan di atasnya adalah
at-tafal, dan di atasnya adalah al-buzaq, yang disebut dalam bahasa kita
dengan meludah. Yang disyariatkan ketika meruqyah adalah melakukan
an-nafats dan at-tafal. Tatacara ini telah dijelaskan dalam hadits
‘Aisyah x yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Hadits ini
menunjukkan bolehnya melakukan an-nafats dan at-tafal dalam meruqyah.
Ini adalah pendapat sekumpulan shahabat dan jumhur para ulama.
Adapun waktu pelaksanaannya, boleh dilakukan sebelum membaca ruqyah,
sesudahnya, atau bersamaan. Hal ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah x
yang sebagiannya diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, sedangkan yang
lain hanya diriwayatkan oleh Al-Bukhari saja dan hadits Abu Sa’id z
yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.
2. Meruqyah tanpa an-nafats dan at-tafal.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits Anas bin Malik yang dikeluarkan oleh
Al-Bukhari sebagaimana telah disebutkan di atas. Demikian pula ruqyah
yang dilakukan oleh malaikat Jibril kepada Nabi n yang diriwayatkan oleh
Abu Sa’id Al-Khudri z dan diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim.
3. Meniup dengan air ludah yang sangat sedikit (an-nafats) pada jari
telunjuk, lalu meletakkannya di tanah kemudian mengusapkannya pada
tempat yang sakit ketika melakukan ruqyah.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah x yang diriwayatkan Al-Imam Muslim.
4. Mengusap dengan tangan kanan pada tubuh setelah membaca ruqyah atau pada tempat yang sakit sebelum membaca ruqyah.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dan Muslim, dan hadits ‘Utsman bin Abil ‘Ash yang
diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim.
5. Menyediakan air dalam sebuah bejana lalu membacakan ruqyah yang
disyariatkan padanya, dan meniupkan padanya sedikit air ludah. Kemudian
dimandikan atau diminumkan kepada orang yang sakit, atau diusapkan ke
tempat yang sakit.
Ini berdasarkan hadits ‘Ali z yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 548) dan
hadits Tsabit bin Qais bin Syammas z yang dikeluarkan oleh Abu Dawud,
An-Nasa`i serta yang lainnya, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Ash-Shahihah (no. 1526). Hal ini juga dikuatkan oleh beberapa
atsar sebagaimana dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan Mushannaf Abdur
Razaq.
Demikian pula sebelum ini kami telah membawakan pengakuan Ibnul Qayyim
bahwa ketika beliau sakit di Makkah pernah berobat dengan meminum air
Zamzam yang dibacakan atasnya Al-Fatihah berulang kali. Selanjutnya
beliau berkata: “Darinya aku memperoleh manfaat dan kekuatan yang belum
pernah aku ketahui semisalnya pada berbagai obat. Bahkan bisa jadi
perkaranya lebih besar daripada itu, akan tetapi sesuai dengan kekuatan iman dan kebenaran keyakinan. Wallahul Musta’an.” (Madarijus Saalikin, 1/69)
Cara yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim ini juga merupakan pendapat
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bazz rahima-humallah. (Lihat Ahkam Ar-Ruqa
wa At-Tama`im hal. 65)
6. Menuliskan ayat-ayat Al-Qur`an pada selembar daun, atau yang
sejenisnya, atau pada sebuah bejana lalu dihapus dengan air, kemudian
air itu diminum atau dimandikan kepada orang yang sakit.
Cara ini diperselisihkan hukumnya di kalangan para ulama. Di antara yang
membolehkannya adalah Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Abu Qilabah, Ahmad bin
Hanbal, Al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnul Qayyim. Sedangkan
yang memakruhkan-nya adalah Ibrahim An-Nakha’i, Ibnu Sirin, dan Ibnul
‘Arabi rahimahumullah. Al-Lajnah Ad-Da`imah sebagai tim fatwa negara
Saudi Arabia pernah ditanya tentang hal ini. Mereka menjawab bahwa hal
ini tidak datang dari Nabi n, Al-Khulafa` Ar-Rasyidun, dan para shahabat
yang lainnya. Adapun yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tidaklah
shahih. Selanjutnya mereka menyebutkan nama-nama ulama yang membolehkan
sebagaimana yang tadi telah kami singgung. Kemudian mereka berkata:
“Bagaimana pun juga bahwa amalan yang seperti ini tidaklah dianggap syirik.” (Lihat Majmu’ Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah soal no. 184)
Demikianlah beberapa penjelasan tentang ruqyah syar’i yang bisa kami
cantumkan dalam tulisan ini. Sebenarnya masih banyak pembahasan tentang
ruqyah syar’i yang tidak bisa kami sertakan di sini karena keterbatasan
tempat. Semoga yang kami tuliskan diberkahi oleh Allah I dan bermanfaat
bagi seluruh pembaca yang budiman. Akhirnya, kesempurnaan itu hanya
milik Allah I.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Cara-cara Meruqyah
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 024